Jenis Jenis Dukungan Tenaga Kerja Dalam Aturan Perdata

Jenis Jenis Perlindungan Tenaga Kerja dalam Hukum Perdata Jenis Jenis Perlindungan Tenaga Kerja dalam Hukum Perdata
Hukum Perdata

Jenis - Jenis Perlindungan Kerja (Hukum Perdata), berikut ialah pemaparan wacana Jenis-jenis pinjaman kerja dalam Hukum perdata
Secara teoritis dikenal ada tiga jenis pinjaman kerja yaitu sebagai berikut :[1]

  1. Perlindungan sosial, yaitu suatu pinjaman yang berkaitan dengan perjuangan kemasyarakatan, yang tujuannya untuk memungkinkan pekerja/buruh mengenyam dan berbagi kehidupannya sebagaimana insan pada umumnya, dan khususnya sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga. Perlindungan sosial disebut juga dengan kesehatan kerja.
  2. Perlindungan teknis, yaitu jenis pinjaman yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga biar pekerja/buruh terhindar dari ancaman kecelakaan yang ditimbulkan oleh alat-alat kerja atau materi yang dikerjakan. Perlindungan ini lebih sering disebut sebagai keselamatan kerja.
  3.  Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis pinjaman yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memperlihatkan kepada pekerja/buruh suatu penghasilan yang cukup guna memnuhi keperluan sehari-hari baginya dan keluarganya, termasuk dalam hal pekerja/buruh tidak bisa bekerja lantaran sesuatu diluar kehendaknya. Perlindungan jenis ini biasanya disebut dengan jaminan sosial.
Ketiga jenis perlindungandi atas akan di uraikan sebagai berikut :

1.   Perlindungan Sosial atau Kesehatan Kerja

Kesehatan kerja sebagaimana telah dikemukakan di atas termasuk jenis pinjaman sosial lantaran ketentuan-ketentuan mengenai kesehatan kerja ini berkaitan dengan sosial kemasyarakatan, yaitu aturan-aturan yang bermaksud mengadakan pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan pengusaha untuk memperlakukan pekerja/buruh ”semaunya” tanpa memperhatikan norma-norma yang berlaku, dengan tidak memandang pekerja/buruh sebagai mahluk Tuhan yang memiliki hak asasi.

Karena sifatnya yang hendak mengadakan ”pembatasan” ketentuan-ketentuan pinjaman sosial dalam UU No. 13 Tahun 2003, Bab X Pasal 68 dan seterusnya bersifat ”memaksa”, bukan mengatur. Akibat adanya sifat memaksa dalam ketentuan perlindunga sosial UU No. 13 Tahun 2003 ini, pembentuk undang-undang memandang perlu untuk menjelaskan bahwa ketentuan yang berkaitan dengan pinjaman sosial ini merupakan ”hukum umum” (Publiek-rechtelijk) dengan hukuman pidana. 

Hal ini disebabkan beberapa alasan berikut :[2]

  • Aturan-aturan yang termuat di dalamnya bukan bermaksud melindungi kepentingan seorang saja, melainkan bersifat aturan bermasyarakat.
  •  Pekerja/buruhIndonesia umumnya belum memiliki pengertian atau kemampuan untuk melindungi hak-haknya sendiri.
Jadi, jelasnya kesehatan kerja bermaksud melindungi atau menjaga pekerja/buruh dari kejadian/keadaan kekerabatan kerja yang merugikan kesehatan dan kesusilaannya dalam hal pekerja/buruh melaksanakan pekerjaannya. Adanya pengutamaan ”dalam suatu kekerabatan kerja” memperlihatkan bahwa semua tenaga kerja yang tidak melaksanakan kekerabatan kerja dengan pengusaha tidak mendapat pinjaman sosial sebagaimana ditentukan dalam Bab X UU No 13 Tahun 2003.

2.   Perlindungan Teknis Atau Keselamatan Kerja

Keselamatan kerja termasuk dalam apa yang disebut pinjaman teknis, yaitu pinjaman terhadap pekerja/buruh biar selamat dari ancaman yang sanggup ditimbulkan oleh alat kerja atau materi yang dikerjakan.

Berbeda dengan pinjaman kerja lain yang umumnya ditentukan untuk kepentingan pekerja/buruh saja, keselamatan kerja ini tidak hanya memperlihatkan pinjaman kepada pekerja/buruh, tetapi kepada pengusaha dan pemerintah.

  • Bagi pekerja/buruh, adanya jaminan pinjaman keselamatan kerja akan menimbulkan suasana kerja yang tentram sehingga pekerja/buruh sanggup memusatkan perhatian pda pekerjaannya semaksimal mungkin tanpa khawatir sewaktu-waktu akan tertimpa kecelakaan kerja.
  • Bagi pengusaha, adanya pengaturan keselamatan kerja di dalam perusahaannya akan sanggup mengurangi terjadinya kecelakaan yang sanggup mengakibatkan pengusaha harus memperlihatkan jaminan sosial.
  • Bagi pemerintah (dan masyarakat), dengan adanya dan ditaatinya peraturan keselamatan kerja, maka apa yang direncanakan pemerintah untuk mensejahterakan masyrakat akan tercapai dengan meningkatnya produksi perusahaan baik kualitas maupun kuantitas.[3]

Dasar pembicaraan problem keselamatan kerja ini hingga kini ialah UU No 1 Tahun 1970 wacana keselamatan kerja. Namun, sebagian besar peraturan pelaksanaan undang-undang ini belum ada sehingga beberapa peraturan warisan Hindia Belanda masih dijadikan ajaran dalam pelaksanaan keselamatan kerja di perusahaan. Peraturan warisan Hindia Belanda itu dalah sebagai berikut :[4]

  1. Veiligheidsreglement, S 1910 No. 406 yang telah beberapa kali dirubah, terakhir dengan S. 1931 No. 168 yang lalu sehabis Indonesia merdeka diberlakukan dengan Peraturan Pemerintah No. 208 Tahun 1974. Peraturan ini menatur wacana keselamatan dan keamanan di dalam pabrik atau daerah bekerja.
  2. Stoom Ordonantie, S 1931 No. 225, lebih dikenal dengan peraturan Uap 1930.
  3. Loodwit Ordonantie, 1931 No. 509 yaitu peraturan wacana pencegahan pemakaian timah putih kering.

3.   Perlindungan hemat atau Jaminan Sosial

Penyelenggara program jaminan sosial merupakan salah satu tangung jawab dan kewajiban Negara untuk memperlihatkan pinjaman sosial ekonomi kepada masyarakat. Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan Negara, Indonesia ibarat halnya aneka macam Negara berkembang lainnya, berbagi kegiatan jaminan sosial menurut funded social security, yaitu jaminan sosial yang dibiayai oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat pekerja di sektor formal.

Jaminan sosial tenaga kerja ialah suatu pinjaman bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akhir kejadian atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari renta dan meninggal dunia.[5]

Dari pengertian diatas jelaslah bahwa jaminan sosial tenaga kerja ialah merupakan pinjaman bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang ( jaminan kecelakaan kerja, kematian, dan tabungan hari renta ), dan pelyanan kesehatan yakni jaminan pemeliharaan kesehatan.

Jaminan sosial tenaga kerja yang diatur dalam Undang – Undang Nomor. 3 Tahun 1992 ialah : [6]
Merupakan hak setiap tenaga kerja yang sekaligus merupakan kewajiban dari majikan. Pada hakikatnya kegiatan jaminan soisal tenaga kerja dimaksud untuk memperlihatkan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga yang sebagian yang hilang.

Disamping itu kegiatan jaminan sosial tenaga kerja memiliki beberapa aspek antara lain : [7]

  • Memberikan pinjaman dasar untuk memenuhi kebutuhanhidup minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya.
  • Merupakan penghargaan kepada tenaga kerja mendidik kemandirian pekerja sehingga pekerja tidak harus meminta belas kasihan orang lain kalau dalam kekerabatan kerja terjadi resiko – resiko ibarat kecelakaan kerja, sakit, hari renta dan lainnya.


[1]   Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja (Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja), Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007, hal 78
[2] Ibid, hal 80
[3] Ibid, hal 84
[4] Ibid, hal 84
[5] Indonesia, Undang-undang Jaminan SosialTenagakerja, No, 3 Tahun 1992 Pasal 10.
[6] Lalu Husni, Pengantar aturan ketenaga kerjaan indonesia, ( Jakarta : PR Raja Grafindo Persada, 2003 ), hal 122
[7] Indonesia, Undang-undang jaminan soail tenaga kerja, 3 Tahun 1992.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel