Contoh Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Jenis Kdrt Serta Uu Kdrt

KEKERASAN FISIK

A.     Kekerasan Fisik Berat, berupa penganiayaan berat  menyerupai menendang; memukul, menyundut; melaksanakan percobaan pembunuhan atau pembunuhan dan semua perbuatan lain yang sanggup menjadikan :

a.    Cedera berat
b.    Tidak bisa menjalankan kiprah sehari-hari
c.    Pingsan
d.    Luka berat pada badan korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan ancaman mati
e.    Kehilangan salah satu panca indera.
f.     Mendapat cacat.
g.    Menderita sakit lumpuh.
h.    Terganggunya daya pikir selama 4 ahad lebih
i.      Gugurnya atau matinya kandungan seorang wanita
j.      Kematian korban.

B.    Kekerasan Fisik Ringan, berupa menampar, menjambak, mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan:
a.      Cedera ringan
b.      Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat

C.    Melakukan repitisi kekerasan fisik ringan sanggup dimasukkan ke dalam jenis kekerasan berat.

 Penjelasan:  

Kekhususan dari RUU ini yaitu menggabungkan dua jenis kategori tindak pidana dalam KUHP, yakni tindak pidana pembunuhan dan tindak pidana penganiayaan berat. Oleh sebab tujuan atau niat pelaku dalam tindak pidana tersebut tidak semata-mata untuk melukai badan atau menghilangkan nyawa korban tetapi lebih pada kehendak pelaku untuk mengontrol korban biar tetap di tempatkan dalam posisi subordinat (konteks kekerasan domestik). Makara kekerasan fisik yang menjurus kepada melukai badan atau menghilangkan nyawa korban yaitu alat atau target antara untuk mencapai target utamanya yakni mengontrol atau menempatkan korban pada posisi subordinat. Di luar kekhususan ini artinya tindak pidana yang dilakukan oleh mereka yang bukan dalam konteks kekerasan domestik tidak diatur dalam RUU ini tetapi masuk dalam pengaturan KUHP. 



KEKERASAN PSIKIS:

A.    Kekerasan Psikis Berat, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; kekerasan dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya bisa menjadikan penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut:
a.    Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun.
b.    Gangguan stress pasca trauma.
c.    Gangguan fungsi badan berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi medis)
d.    Depresi berat atau destruksi diri
e.    Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas menyerupai skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya
f.     Bunuh diri

B.    Kekerasan Psikis Ringan, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis;yang masing-masingnya bisa menjadikan penderitaan psikis ringan, berupa salah satu atau beberapa hal di bawah ini:
a.    Ketakutan dan perasaan terteror
b.    Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak
c.     Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual
d.    Gangguan fungsi badan ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan pencernaan tanpa indikasi medis)
e.    Fobia atau depresi temporer
 
Penjelasan:
Untuk pembuktian kekerasan psikis harus didasarkan pada dua aspek secara terintegrasi, 1) tindakan yang diambil pelaku; 2) implikasi psikologis yang dialami korban. Diperlukan keterangan psikologis atau psikiatris yang tidak saja menyatakan kondisi psikologis korban tetapi juga uraian penyebabnya.



KEKERASAN SEKSUAL:

A.     Kekerasan Seksual Berat, berupa:
a.    Pelecehan seksual dengan kontak fisik, menyerupai meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
b.    Pemaksaan korelasi seksual tanpa persetujuan korban atau pada ketika korban tidak menghendaki.
c.    Pemaksaan korelasi seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan  atau menyakitkan.
d.    Pemaksaan korelasi seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu.
e.    Terjadinya korelasi seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
f.     Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa pinjaman alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.
B.    Kekerasan Seksual Ringan, berupa pemerkosaan secara lisan menyerupai komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, menyerupai ekspresi wajah, gerakan badan atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban.

C.    Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan sanggup dimasukkan ke dalam jenis kekerasan seksual berat.

Penjelasan:

Kata ‘pemaksaan korelasi seksual’ disini lebih diuraikan untuk menghindari penafsiran bahwa ‘pemaksaan korelasi seksual’ hanya dalam bentuk pemaksaan fisik semata (seperti harus adanya unsur penolakan secara lisan atau tindakan), tetapi pemaksaaan juga bisa terjadi dalam tataran psikis (seperti dibawah tekanan sehingga tidak bisa melaksanakan penolakan dalam bentuk apapun). Sehingga pembuktiannya tidak dibatasi hanya pada bukti-bukti bersifat fisik belaka, tetapi bisa juga dibuktikan melalui kondisi psikis yang dialami korban.  


Tindakan-tindakan kekerasan seksual ini dalam dirinya sendiri (formil) merupakan tindakan kekerasan dengan atau tanpa melihat implikasinya. Implikasi itu sendiri harus nya dimasukkan sebagai unsure pemberat (hukuman). Imlikasi tersebut misalnya, rusaknya hymen, hamil, keguguran, terinfeksi Penyakit Menular Seksual (PMS), kecacatan, dll.


KEKERASAN EKONOMI:

A.     Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:
a.    Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran.
b.    Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
c.    Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.

B.    Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melaksanakan upaya-upaya sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.

Sekilas Tentang UU KDRT

UU perihal KDRT merupakan aturan publik yang didalamnya ada ancaman pidana penjara atau denda bagi yang melanggarnya, maka masyarakat luas khususnya kaum lelaki, dalam kedudukan sebagai kepala keluarga sebaiknya mengetahui apa itu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Adapun perihal siapa saja yang termasuk dalam lingkup rumah tangga, yaitu : a). Suami, isteri, dan anak, termasuk anak angkat dan anak tiri ; b). Orang-orang yang memiliki korelasi keluarga dengan suami, isteri yang tinggal menetap dalam rumah tangga, menyerupai : mertua, menantu, ipar, dan besan ; dan c). Orang yang bekerja membantu di rumah tangga dan menetap tinggal dalam rumah tangga tersebut, menyerupai PRT.
Adapun bentuk KDRT menyerupai yang disebut di atas sanggup dilakukan suami terhadap anggota keluarganya dalam bentuk : 1) Kekerasan fisik, yang menjadikan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat ; 2) Kekerasan psikis, yang menjadikan rasa ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dll. 3).Kekerasan seksual, yang berupa pemaksaan seksual dengan cara tidak wajar, baik untuk suami maupun untuk orang lain untuk tujuan komersial, atau tujuan tertentu ; dan 4). Penelantaran rumah tangga yang terjadi dalam lingkup rumah tangganya, yang mana berdasarkan aturan diwajibkan atasnya. Selain itu penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang menjadikan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Bagi korban KDRT undang-undang telah mengatur akan hak-hak yang sanggup dituntut kepada pelakunya, antara lain : a).Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, forum sosial, atau pihak lainnya maupun atas penetapan perintah proteksi dari pengadilan ; b).Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis ; c). Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban ; d).Pendampingan oleh pekerja sosial dan pinjaman aturan ; dan e). Pelayanan bimbingan rohani. Selain itu korban KDRT juga berhak untuk mendapat pelayanan demi pemulihan korban dari, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani. (vide, pasal 10 UU No.23 tahun 2004 perihal PKDRT).
Dalam UU PKDRT Pemerintah memiliki kewajiban, yaitu : a).Merumuskan kebijakan abolisi KDRT ; b). Menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi perihal KDRT ; c). Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi perihal KDRT ; dan d). Menyelenggarakan pendidikan dan pembinaan sensitif jender, dan gosip KDRT serta menetapkan standard dan legalisasi pelayanan yang sensitif jender.
UU No.23 tahun 2004 juga mengatur kewajiban masyarakat dalam PKDRT, dimana bagi setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) wajib melaksanakan upaya : a) mencegah KDRT ; b) Memberikan proteksi kepada korban ; c).Memberikan pertolongan darurat ; dan d). Mengajukan proses pengajuan permohonan penetapan proteksi ; (vide pasal 15 UU PKDRT). Namun untuk kejahatan kekerasan psikis dan fisik ringan serta kekerasan seksual yang terjadi di dalam kekerabatan antar suami-isteri, maka yang berlaku yaitu delik aduan. Maksudnya yaitu korban sendiri yang melaporkan KDRT yang dialaminya kepada pihak kepolisian. ( vide, pasal 26 ayat 1 UU 23 tahun 2004 perihal PKDRT).
Namun korban sanggup memperlihatkan kuasa kepada keluarga atau Advokat/Pengacara untuk melaporkan KDRT ke kepolisian (vide, pasal 26 ayat 2). Jika yang menjadi korban yaitu seorang anak, laporan sanggup dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh atau anak yang bersangkutan (vide, pasal 27). Adapun mengenai hukuman pidana dalam pelanggaran UU No.23 tahun 2004 perihal PKDRT diatur dalam Bab VIII mulai dari pasal 44 s/d pasal 53. Khusus untuk kekerasan KDRT di bidang seksual, berlaku pidana minimal 5 tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara atau 20 tahun penjara atau denda antara 12 juta s/d 300 juta rupiah atau antara 25 juta s/d 500 juta rupiah. ( vide pasal 47 dan 48 UU PKDRT).
Dan perlu diketahui juga, bahwa pada umumnya UU No.23 tahun 2004 perihal PKDRT, bukan hanya melulu ditujukan kepada seorang suami, tapi juga juga bisa ditujukan kepada seorang isteri yang melaksanakan kekerasan terhadap suaminya, anak-anaknya, keluarganya atau pembantunya yang menetap tinggal dalam satu rumah tangga tersebut

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel