Cerita Ide Hidup - Bertamu Kerumah Tuan Heidegger Mengenal Diri

BAIKLAH. Sebelum menodai kertas ini dengan tinta dosa dan beberapa baris paragraf bijak. Maka izinkanlah sejenak lisan kotor ini melantunkan sebuah keindahan puisi filosofis.
Ada dan ada.

Ada yakni ada.
dan ada yakni Ada.
tapi Ada terlupakan.
dan ada melupakan.
Jika Ada terlupakan.
maka ada melupakan ada.
kalau Ada menanya.
ada ikut menanya.
tapi kalau Ada menjawab.
ada masih menanya.
Ada sibuk dengan ada.
tapi ada sibuk dengan ada.
maka ada amnesia akan Ada.
jadi. Apakah Ada dan ada.
mengapa ada bisa ada.

Bingung, maka ibarat itulah kita (manusia), membingungkan. Tapi keindahan yang sejati memang membutuhkan usaha rasio dan nurani untuk dirasakan. Dan usaha itu akan segera kita mulai. Maka pasti keindahan puisi ini akan sama-sama kita teguk kesegarannya.
Untuk menjawab apakah Ada dan ada? dan mengapa ada bisa ada?. Maka kita harus melangkah dan bertamu kerumah filsafat insan dan kita akan dijamu oleh tuan rumah yang populer bijak dan ramah. Dialah Martin Heidegger.
Tetapi sebelum tiba bertamu kerumah Tuan Heidegger. Ada lebih baiknya telebih dahulu kita berbelanja ketoko Dasein market terdekat untuk membawakan sebuah hadiah yang terbungkus oleh bungkusan kebingungan yang cukup mahal sekaligus berharga. Yang pasti akan menciptakan seorang Heidegger tersenyum.
Hadiahnya ibarat ini. Seberapa jauh anda telah berjalan didalam labirin ruang dan waktu. Dan seberapa jauh anda telah tersesat atau mungkin telah menemukan jalan keluar dari labirin itu sehingga anda telah tahu akan eksistensial insan yang begitu kompleks. Atau anda merasa nyaman tersesat dalam labirin itu dan tidak ingin tahu menahu atau menentukan menjadi seorang pecundang sejati yang tidak ingin mengambil resiko kemudian buta dan amnesia dengan keberadaan manusia.
Hadiahnya telah kita miliki. Hadiah berupa keberadaan yang pasti menyenangkan Heidegger. Sekarang saatnya kita berjalan kerumah Sang Heidegger. Perjalanannya akan sedikit jauh dan agak membingunkan. Maka biar tidak bosan. Marilah kita mendengarkan sebuah lagu yang indah dan mempesona berjudul filsafat manusia. Marilah kita menikmatinya. Maka kita akan tahu hakikat kemanusiaan.

Nyayian  eksisitensi mengiringi perjalanan.

Filsafat insan yang juga dalam bahasa Inggris diartikan philosophy of man, merupakan potongan dari filsafat yang berupaya menelisik keberadaan manusia. Sebuah filsafat yang berusaha dan berupaya melukiskan siapa yang bahwasanya makhluk berjulukan insan itu. Dan akan coba memenyingkap misteri dibalik kompleksititas keberadaan seorang insan dalam keseluruhan dimensinya : hakikat kemanusiaanya, motif dibalik segala aktifitasnya, nilai, tujuan, makna kehidupannya. Dan segala sesuatu yang bekerjasama dengan eksistensinya sepanjang napas kehidupannya.

Yah, nikmatkan. Ini masih sebuah intro kita belum masuk kedalam reffnya. Maka marilah kita menambah volume musiknya, biar lagu ini semakin menggoyang.
Filsuf yang sedang berfilsafat bukan hanya berusaha memahami esensi insan secara individu atau luas. Tapi dibalik usaha itu filosof juga berusaha memahami esensi dirinya. Denga demikian setiap apa yang dikeluarkannya akan jawab eksitensi itu bersifat evaluasi langsung yang sudah berbau subjektif.
Tetapi dalam filsafat manusia, yang kita cari yakni das sollen ( kenyataan yang seharusnya) bukan hanya das sein ( kenyataan yang sebagaimana adanya). Maka nilai subjektif dari seorang filosof baik dalam segi personal, moral, religius ataupun kemanusian bukanlah virus yang harus dijauhi. Maka janganlah heran ketika Karl Marx berkata ibarat ini . “tugas seorang filosof bukan lagi berusaha menerangkan  dunia( das sein) tetapi berusaha mengubah dunia (das sollen)”. Niatzche juga ikut mengingatkan dan mengajak kita untuk ikut mendobrak kebudayaan yang lembek, mapan, dan bodoh.dan menggantinya dengan kebudayaan adikuasa, megah, kompetiif, perkasa,  jago dan berani.Maka marilah kita berusaha keluar dari kebiasaan sederhana yang berjalan datar dan tetap mempertimbangkan setiap hasil pemikiran para filosof jago nan bijakasana.
Bagaimana apakah lagu ini sudah menggugah kalian. Jika iya maka siap-siaplah mendengarkan reffnya, tapi kalau belum. Mudah-mudahan anda bisa tergugah dengan reff dari lagu ini. Dan inilah reffnya.
Mengenai apa bahwasanya inti, esensi, hakikat atau struktur dasar insan itu, ternyata banyak mengundang balasan yang bermacam-macam dari hampir setiap filsuf, bahkan mereka yang beraliran sekalipun. Misalnya saja konsep yang diajukan oleh Descartes. Seorang filsuf Prancis yang selalu disebut-sebut sebagai Bapak Filsafat Modern itu. Menurutnya penganut dualisme ihwal insan ini, hakikat insan yakni substansi yang mempunyai sifat dasar res extensa dan res cogitans, atau substansi yang mempunyai keluasan dan substansi yang berpikir. Pada manusia, res extensa teraktualisasi pada tubuh, sedangkan res cogitans pada jiwa.
Sedangkan Schopenheuer percaya bahwa “kehendak (buta)” merupakan prinsip dasar yang menggerakkan alam semesta maupun kegiatan manusia. Lalu Henry Bergson, seorang vitalis dan/atau filsuf spritual Prancis yang populer itu menunjuk pada “elan vital” (suatu energi hidup atau daya pendorong hidup) sebagai sumber yang memungkinkan segalapergerakan dalam kehidupan dan tindak tanduk manusia. Niatzche yang populer akan “Tuhan telah matinya”  seorang filsuf Prancis secara lebih spesifik lagi menunjuk pada “Wille zur macht” (kehendak untuk berkuasa). Sebagai energi yang memungkinkan peredaran alam dan sikap manusia. Karl Marx, filsuf aktivis komunisme yang sangat populer akan jenggot lebatnya. Menempatkan materi sebagai hakikat insan dan memandang alat-alat produksi serta hubungan-hubungan produksi sebagai kekuatan-kekuatan, yang menetukan kesadaran dan sikap manusia.
Para filsuf yang sangat jago sudah mengajukan pertanyaan yang berbeda. Dan balasan yang dihasilkan juga berbeda-berbeda. Oleh alasannya yakni itulah sehabis kita mempelajari filsafat insan setidaknya kita bisa mengerti akan kompleksitas sebuah makhluk yang berjulukan manusia. Yang tidak akan pernah berhenti untuk membingungkan. Dan misteri akan dirinya teruslah menggoda.
Lagunya telah selesai, kita harap setidaknya itu sudah menggugah dan membuka cakrawala intelektual kita untuk bersikap kritis. Dan mulai bertanya. Apakah saya dan siapakah aku. Darimanakah saya dan akan kemanakah aku!.

Seiring lagu yang nikmat ini telah habis, kita juga telah hingga didepan halaman rumah tuan Heidegger. Maka dengan sopan marilah kita membuka pintu pagarnya. Tenang saja. Heidegger tidak mempunyai anjing penjaga. Kita bebas masuk. Lihat saja disana diantara pintu depan rumah sederhana itu. seseorang sedang berdiri menunggu kita. Mungkin dialah Martin Heidegger. maka sebentar lagi kita akan bertemu dengannya, saya harap hadiah yang sudah kita beli tadi tidak terlupakan dan tetap terbungkus dengan rapi. Karena kalau hadiah itu hilang maka Heidegger mungkin akan kecewa.
Ayo kita masuk. Kalian mungkin akan merasa takjub melihat halaman rumah Martin Heidegger yang begitu luas dan penuh dengan bunga bunga yang indah. Rumah yang begitu asri dan tenang. Karena memang Martin Heidegger  menyukai ketenangan yang sepi dan sunyi biar beliau sanggup dengan fokus berikir akan kegiatan filosofis. Namun kita pasti akan terkaget ketika melihat bendera Nazi dipintunya itu. Karena memang Heidegger sempat disebut sebut berpihak pada Nazi. Tapi Lihatlah bagaimana Martin Heidegger tersenyum kepada kita dan melambaikan tangannya dengan lembut kearah kita memperlihatkan bahwa ia yakni seorang yang begitu berpengaruh. Percepatlah langkah kita, kelihatannya Heidegger sudah begitu rindu dengan kita.
Kita sudah berada diruang tamunya yang begitu sederhana, hanya ada dingklik kayu dan beberapa hiasan dinding yang antik serta gambar-gambar tentara nazi. Heidegger yang sudah terlihat bau tanah tiba menghampiri kita dengan membawa segelas kopi hangat. Dan tersenyum lagi. Dan duduk dihadapan kita. Dan beliau mulai bertanya.
“Ada apa gerangan kalian menyempatkan diri tiba kerumahku yang sederhana ini ?”
Marilah kita menjawab pertanyaannya dengan sopan. “ kami tiba kemari untuk memperlihatkan hadiah ini.” Maka berikanlah hadiah itu. Dan kita melihat bagaimana berserinya wajah bau tanah itu ketika mendapatkan hadiah dari kita. Dengan tangannya yang sudah rentah, bungkusan hadiah itu terkoyak dan memperlihatkan sebuah hadiah secarcik kertas yang berkilauan. Membuat Heidegger begitu terpesona dan pelan-pelan ia membancanya.
beliau menganggukkan kepalanya. Dan meletakkan kembali secarcik kertas itu. Lalu meminum seteguk kopi hangat buatannya. Kita juga ikut dipersilahkan. Maka marilah kita meneguk kopi hangat itu. Agak pahit memang. Tapi kopi buatan Heidegger tidak begitu mengecewakan. Heidegger berdehem. Dan nampaknya akan memulai pembicaraan. Maka siapkan mata dan pendengaran kita. Apa yang akan diucapkannya. Akan sangat berharga.

Ada yang terlupakan.

Heidegger mengucapkan dengan matanya yang sayu, bahwa untuk keluar dari labirin itu kita harus tahu siapa kita. Jika telah tahu. Maka kita juga akan tahu keberadaan manusia. Maka itulah jalan keluarnya.tapi untuk mengetahui itu. Maka kita harus tahu apakah Ada itu ?.
Heidegger lebih lanjut menyampaikan tradisi filsafat barat lalai membedakan antara  “Ada”(Being) dengan “a” besar dan “adaan” (being). “Ada” ditafsirkan dengan “adaan”. Rumah itu, pohon itu. Kursi itu yakni “ada”. Tapi “Ada” sendiri bukanlah rumah itu, pohon itu, dan dingklik itu. “Ada” yakni sesuatu yang melampaui sekaligus menyelubungi “adaan”. Filsafat Barat dan mungkin bahkan kalian yang modern terlena lalau lalai akan pertanyaan filosofis sesungguhnya.
Pertanyaan filsafat barat selama ini berbasiskan perkiraan ihwal “ada” sebagai benda-benda deskriftif. Sedangkankan “Ada” dengan “a” besar bagiku(Heidegger) lebih agung dari itu. Pertanyaan filsafat harus dikonsentrasikan pada “Ada” yang agung itu. “Ada” yang menuntut perubahan pola pertanyaan filosofis. “Ada”  harus dibedakan dengan pertanyaan ihwal apa pulpen itu.
“tunggu dulu Tuan Heidegger”.
Kita mulai bingung. Dan kita menghentikan pembicaraan. Heidegger menatap kearah kita. Dan beliau seolah tak sabar lagi melanjutkan penjelasannya. Maka kita mengajukan pertanyaan pada Heidegger.
“ Jika “Ada” itu tidak mempunyai sifat kebendaan, kemudian tuan Heidegger bagaimanakah kita sanggup mencari tahu akan “Ada” itu?”
Heidegger kemudian menjawabnya. Dan melanjutkan penjelasannya.
Satu-satunya sosok yang sanggup mempersoalkan “Ada” itu yakni manusia. Hanya Manusialah yang mempunyai pemahaman kurang jelas ihwal “Ada”. Karena sehari-hari insan bergelut dengan “Ada”. Hanya Manusia satu-satunya makhluk yang dibimbing oleh suatu pengetahuan yang samar ihwal “Ada”.
Manusia yakni “ada” yang unik .keunikan yang membedakannya dengan benda-benda dan bisa mempersoalkan “Ada”. Karena insan bukanlah benda melainkan dasein yang artinya “ Ada disana”. Manusia selalu merupakan “ada” yang menemukan dirinya terjebak didalam labirin ruang dan waktu tertentu . keterjebakan yang bukan mengisolasi tapi malahan membuka insan pada duduk kasus “Ada”. Keterjebakan yang justru menciptakan insan bertanya-bertanya dan mempersoalkan.
Maka jalan keluar dari labirin itu yakni labirin itu sendiri. Tidak ada jalan keluar dari labirin ruang dan waktu. Ketidak adaan jalan keluar justru itulah jalan keluarnya. Karena balasan akan eksitensi itu ada dalam keterjebakan itu sendiri.
“bagaimana apakah kalian sudah mengerti akan labirin ruang dan waktu?” Heidegger bertanya pada kita.
“nampaknya kami masih butuh klarifikasi darimu tuan Heidegger?” kita oke menjawab pertanyaannya dengan balasan ibarat itu. Kita masih butuh penjelasan. Dan tenang saja. tuan Heidegger yakni orang yang pemurah hati. Dengan senang hati tuan Heidegger akan terus memeberikan kita air filsafat akan kehausan filosofis kita.




Manusia pecundang

“Jadi ibarat ini nak” Heidegger melanjutkan penjelasannya.
Kondisi insan selalu terentang antara dua eksitensi: autentik dan inautentik. Modus keberadaan autentik yakni kesadaran bahwa akulah yang harus menentukan pilihanku sendiri sementara modus keberadaan inautentik yakni hilangnya kesadaran akan saya yang autentik.
“jika kalian merasa setiap kegiatan kalian. Dan apa yang kalian pakai yakni pilihanmu sendiri maka kamulah insan autentik. Sebaliknya kalau kalian menentukan menggunakan baju itu lantaran juga digunakan oleh orang lain maka kalianlah insan yang inautentik.”
Manusia itu enggan mendapatkan Ada-nya sendiri (miliknya sendiri). Dan lebih suka memperlihatkan atau menguasakannya kepada orang lain. Dalam kondisi ibarat itu, insan membuka pintu lebar-lebar bagi orang lain dan mengizinkan orang lain itu untuk membentuk dan mengarahkan eksistensinya. Orang lain itu ibarat : Norma-norma yang diberlakukan secara umum dan global, contohnya dalam cara berpakaian, berbicara, berpikir, dan bercita rasa. Tokoh idola, iklan, dan media massa menjadi pola hidupnya, dan mode menjadi tujuan eksistensinya. Jika si misal “Aliando atau Raisa” berpakaian ibarat Berswiter dan bergaun. Maka kita juga akan mengikuti apa yang digunakan oleh si Aliando dan si Raisa.

Ada alasan mengapa insan menentukan hidup menjadi “Orang lain”, manjadi tidak autentik. Manusia yang ingin menjadi orang lain yakni insan yang cemas dan tidak ingin bertanggung jawab dengan apa yang ada di di rinya. Jika ada yang salah maka orang lain itulah yang salah. Karena dengan tetapkan sendiri apa yang saya lakukan seringkali menjadikan rasa cemas, bukan saja sering tidak tahu resiko apa yang akan terjadi, tetapi juga lantaran khawatir menjadi “lain” dari apa yang dipikirkan atau diperbuat oleh orang lain. Maka insan yang inautentik yakni manusia-manusia pengecut dan pecundang yang kesehariannya bukan menjadi dirinya sendiri melainkan menjadi orang lain dan karam jauh didialam jurang hidup insan kebanyakan dan berlindung didalam sana.

Manusia yang sejatinya pemenang.

Keberadaan insan yang terlempar di dunia begitu saja. tanpa tahu dari mana dan akan kemana. Aku (Heidegger) menyebut ini dengan faksitas. Yakni kenyataan bahwa insan ada didunia ini bersifat niscaya. Manusia tidak pernah ditanya lebih dahulu mau tidak kau hidup didunia ini. Manusia ada begitu saja didunia ini.
“ tapi tuan Heidegger tapi agamaku berkata bahwa insan dari Allah dan akan kembali padaNya”. Kita seolah tak oke dengan pendapat Tuan Heidegger. Tapi tuan Heidegger punya jawabannya.
Kesadaran religius kalian harus ditangguhkan dahulu. Kita harus menyingkirkan nama Allah dalam pembahasan kita. Sebab faktanya justru kesadaran religius ini malah membuatkan virus amnesia pada kebanyakan orang beragama dengan tidak pernah lagi mempertanyakan eksistensinya lagi. Pertanyan-pertanyaan seperti: apa bahwasanya kehidupan ini? Untuk apa kita ada didunia ini? Kemanakah kita akan berakhir?. Semua pertanyaan itu malah hilang dari benak orang yang beragama.
Padahal pertanyaan-pertanyaan tersebut nantinya akan mengisi kehidupan kita dengan makna-makna yang sesungguhnya. Kebanyakan kita larut dalan rutinitas keseharian semata. Disini bahwasanya agama hanya merupakan sosialisasi insan semenjak kecil, tidak lebih.
Masa depan yakni tujuan. Maka insan selalu berada dalam proses menjadi yakni tidak akan pernah selesai berkembang. Rumus filosfisnya ibarat ini: insan itu lebih kepada “menjadi” dari pada “Ada”. Dengan kata lain, keberadaan insan secara autentik yakni menampakkan “Ada” dalam setiap keberadaan kehidupannya. Hanya “Ada” yang menghipnotis “ada” maka “ada” yakni yang autentik. Tapi bila “ada” dipengaruhi oleh “ada” maka ada yakni insan inautentik. Mengerti?.
Tetapi ada sebuah moment dimana yang inautentik akan menjadi autentik dan yang autentik akan lebih menjadi autentik. Moment itu yakni moment dimana insan mengalami kecemasan. Kecemasan akan timbul ketika prahara menyentuh kehidupan tenang kita. Entah itu penyakit, kekalahan, kegagalan, kemiskinan dan kematian.
Saat insan dalam keadaan cemas yang mengguncangkan hinggga meruntuhkan segala wawasan, prinsip, pandangan, nilai-nilai dan kepercayaan kita. Saat itulah siapa diri kita yang sesungguhnya tersibak dan terungkap. Kita terhempas dan terlempar kedalam palung-palung keberadaan diri kita sendiri. Kedalam palung “Ada” didalam diri kita sendiri.
Kalau sebelumnya prinsip yang kita anut hanya semata-mata memalsukan masyarakat. Jatuh dalam ikatan norma dan patuh terhadap semua perkataan orang bau tanah kita semenjak kecil, dikala dalam kecemasan semua kepatuhan dan norma masyarakat runtuh dan hancur berkeping-keping. Setelah hancur itu kita membangun kembali sendiri bangunan eksitensial daerah kita berlindung. Kecemasan akan mengantarkan kita menemukan rumah pemukiman eksistensial kita yang baru.
Meski dalam kenyataannya kecemasan itu mengganggu kedamaian dan rasa nyaman kita. Tetapi kecemasan itu malah akan bermuara pada kedamaian sejati. Kita akan menjadi tenang dalam ketidak tenangan. Kita akan tenang dalam ketidak damaian, kita akan nyaman dalam ketidaknyamanan dan kita akan mencapai titik puncak kebahagiaan ditengah dongeng kehidupan yang berantakan.
Ketakutan dan kecemasan yakni sesuatu yang berbeda. Jika ketakutan mempunyai objek yang terang dan nyata. Maka obejek dari kecemasan buram, samar, bahkan tidak ada. Namun meskipun tidak ada. Tetapi malahan ketidak adaan ini yakni merupakan bahaya yang sangat nyata yakni kematian.
Kematian akan menjadikan insan menjadi autentik. Menjadi dirinya sendiri yang solid dan personal. Kemungkinan untuk menjadi diri yang solid dan personal maka insan harus mendapatkan janjkematian sebagai fakta yang harus dihadapi ditengah eksistensinya. Menerima kejadian penting janjkematian bererti mendapatkan kenyataan bahwa insan tidak lain yakni “Ada menuju kematian” dan mendapatkan kenyataan bahwa Ada yakni Ada menuju janjkematian berarti membuka pintu lebar lebar menuju keberadaan yang autentik atau diri yang solid.

“seperti itulah kurang lebihnya. Saya (Heidegger) mungkin bisa membantu kalian menyingkap semua pertanyaan itu. Tapi saya hanya bisa membantu. Yang sanggup menemukan jalan keluar dari labirin ruang dan waktu yakni kalian sendiri. Saya secara langsung sangat berterima kasih telah diberikan hadiah yang begitu istimewa dari kalian. Moga klarifikasi tadi bisa membayar hadiah itu. Dan mungkin hanya itulah yang bisa saya berikan kepada kalian untuk dibawa pulang kerumah. Terima kasih yah.”

Tak terasa matahari sudah akan bersembunyi. Malampun akan menjemput. Tapi sebelumnya kita sudah harus meninggalkan Tuan Heidegger. Ucapan terima kasih sangat layak kita ucapkan sebagai hadiah yang lain sebagai perpisahan bagi keramahan tuan Heidegger. Tapi jangan khawatir Heidegger akan tetap membuka pintunya untuk kita. Sekalai lagi terima kasih tuan Heidegger.
Saya harap juga  puisi yang membingungkan tadi sudah terjelaskan. Terima kasih telah menemani kami untuk mengunjungi rumah Tuan Heidegger. Kami harap anda selalu bertanya akan setiap eksitensi kehiduapn kalian. Siapakah aku. Dan akan kemanakah aku?. Dan jadilah insan yang sejatinya pemenang yang insan yang autentik.







Penulis : M'R

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel