Belajar Tauhid–Gelar Terlarang

Pemberian gelar kepada seseorang yang dikagumi ataupun kepada orang yang dibenci sudah menjadi kebiasaan masyarakat pada umumnya. Namun sayangnya, aneka macam di antara gelar yang diberikan oleh masyarakat tersebut yang ternyata bertentangan dengan syariat Islam yang mulia dan mempunyai makna yang bathil.

Kita telah mengetahui bersama bahwa Alloh telah memberitakan sebagian nama dan sifat-Nya yang mulia melalui Al-Qur’an dan Al-Hadits. Di antara nama-nama tersebut, ada 99 nama yang apabila kita menghitungnya maka kita akan masuk syurga. Perlu diketahui sebelumnya bahwa di antara ke-99 nama tersebut ada yang khusus milik Alloh dan tidak boleh diberikan kepada selain-Nya serta ada pula yang boleh diberikan kepada selain Alloh. Hal ini yaitu konsekuensi dari Tauhid Asma’ wa Shifat (Mengesakan Alloh dalam Nama dan Sifat-Nya).
Kaitannya dengan kesalahan dalam pinjaman gelar yaitu bahwa sebagian gelar yang diberikan masyarakat kepada idolanya atau kepada tokoh yang dikaguminya, merupakan gelar yang hanya boleh diberikan dan dimiliki oleh Alloh ‘Azza wa Jalla. Gelar yang biasa diberikan sebuah masyarakat untuk pimpinannya atau untuk hakimnya yaitu Raja para Raja (Raja Diraja), Hakim para Hakim dan yang sejenisnya. Gelar-gelar tersebut hanya boleh disandang oleh Alloh ‘Azza wa Jalla lantaran hanya Dialah Raja para Raja dan Hakim para Hakim.

Penjelasan Rosululloh ‘alaihish sholaatu was salaam

Permasalahan ini telah dijelaskan oleh Rosululloh ‘alaihish sholaatu was salaam dalam sebuah hadits dari shahabat Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu bahwa dia bersabda, ”Sesungguhnya gelar atau nama yang paling hina di hadapan Alloh yaitu seseorang yang memakai gelar “Malikul Amlak” (Raja para Raja), tiada raja yang berhak disembah selain Alloh.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Gelar “Malikul Amlak” (Raja para Raja) yaitu gelar yang hanya khusus bagi Alloh ‘Azza wa Jalla, sehingga gelar ini yaitu gelar yang hina bila diberikan kepada selain Alloh. Karena gelar tersebut sungguh tidak pantas disandang oleh selain Alloh. Barang siapa yang merendahkan dirinya di hadapan Alloh maka Alloh akan meninggikannya, dan barang siapa yang meninggikan dirinya di hadapan Alloh maka Alloh akan merendahkannya.
Adapun larangan untuk menawarkan gelar “Qodhil Qudhot” (Hakim para Hakim) kepada selain Alloh juga diambil dari hadits ini. Hal ini lantaran gelar tersebut mempunyai makna yang sama dengan gelar Malikul Amlak, yaitu hanya boleh diberikan kepada Alloh Ta’ala.
Larangan ini tidak berlaku bila ruang lingkup gelar tersebut dibatasi atau ditambahkan keterangan setelahnya, contohnya Raja para Raja Eropa, atau Hakim para Hakim Indonesia dan lain-lain. Ketika dibatasi menyerupai itu, maka gelar tersebut menjadi tidak tepat dan dapat diberikan kepada selain Alloh.

Mengganti Gelar Yang Tidak Sesuai Dengan Syariat

Selain hadits di atas, ada juga sebuah kisah yang diriwayatkan dari Abu Dawud dengan sanad yang shohih bahwa seorang shahabat Rosululloh ‘alaihish sholaatu was salaam yaitu Abu Suraih rodhiyallohu ‘anhu dahulu bergelar Abu Al-Hakam (bapaknya Al-Hakam). Ketika informasi wacana pinjaman gelar tersebut hingga kepada Rosululloh ‘alaihish sholaatu was salaam, maka Rosululloh ‘alaihish sholaatu was salaam bersabda, “Sesungguhnya Alloh, itulah Al-Hakam dan kepada-Nya lah semua aturan kembali (merujuk).”
Setelah itu Abu Suraih menceritakan kepada Rosululloh ‘alaihish sholaatu was salaam wacana asal-usul pinjaman gelar tersebut. Gelar tersebut diberikan oleh kaumnya kepada Abu Suraih lantaran ia dapat menawarkan keputusan aturan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang sedang bertikai.
Makna dari Al-Hakam yaitu daerah merujuk semua aturan dan ini yaitu nama yang khusus bagi Alloh Ta’ala. Sehingga arti dan makna dari nama Abu Al-Hakam yaitu Abulloh (Bapaknya Alloh) yang terperinci hal ini merupakan kebatilan. Selain lantaran merupakan nama khusus milik Alloh Ta’ala, kaum Abu Suraih menawarkan gelar tersebut bukan sekedar gelar kosong belaka tetapi mereka juga mensifati bahwa Abu Suraih yaitu daerah merujuk hukum. Sehingga hal ini termasuk kesyirikan dalam duduk masalah nama dan shifat Alloh. Karena kedua lantaran itulah Rosululloh ‘alaihish sholaatu was salaam menghilangkan gelar tersebut dan menggantinya dengan Abu Suraih.
Hal yang perlu dicermati bersama dari inti pembahasan ini yaitu pada makna yang dikandung oleh gelar tersebut. Sehingga walaupun gelar yang diberikan berbunyi lain lantaran adanya perbedaan bahasa, tetapi bila maknanya sama maka gelar tersebut terlarang untuk diberikan kepada selain Alloh ‘Azza wa Jalla.
 Pemberian gelar kepada seseorang yang dikagumi ataupun kepada orang yang dibenci sudah me Belajar Tauhid–Gelar Terlarang

Gelar-Gelar Bermasalah Lainnya

Selain gelar yang bertentangan dengan Tauhid Asma’ wa Shifat tersebut, ada juga nama atau gelar yang tidak boleh oleh syariat walaupun tingkat pelanggaran gelar-gelar tersebut tidak seberat pelanggaran gelar Malikul Amlak dan Qodhil Qudhot. Sebagian lagi merupakan gelar yang bermasalah lantaran salah dalam penggunaan.
Sebagai referensi yaitu gelar “Hujjatulloh” atau “Hujjatul Islam”. Gelar ini menjadi bermasalah lantaran gelar tersebut hanya boleh diberikan kepada para Rosul ‘alaihimus salaam. Karena hujjah (argumen) dari Alloh kepada para hamba-Nya hanya dibawa dan hanya diemban oleh para Rosul ‘alaihimus salaam, tidak diemban oleh selain mereka. Adapun para ulama rohimahumulloh hanya meneruskan hujjah-hujjah yang telah dibawa oleh Rosululloh ‘alaihish sholaatu was salaam. Maka tidak selayaknya kita menawarkan gelar tersebut kepada selain para Rosul ‘alaihimus salam walaupun mereka yaitu seorang imam besar. Gelar “Imam” sudah cukup bagi mereka, yaitu para ulama rahimahumulloh.
Gelar yang lain yaitu “Syaikhul Islam”. Jika yang dimaksud yaitu bahwa orang tersebut mengetahui seluruh aturan Islam tanpa kecuali, maka hal ini bathil. Namun bila yang dimaksud dari gelar Syaikhul Islam yaitu bahwa orang tersebut yaitu seorang mujaddid (pembaharu) maka pinjaman gelar tersebut tidak duduk masalah selama orang tersebut memang pantas menyandangnya.
Maksud dari tajdid (pembaharuan) yaitu mengembalikan Islam menjadi menyerupai dikala masih baru, masih bersih, murni dan orisinil sebagaimana yang dulu diajarkan dan didakwahkan oleh Rosululloh setelah dicemari dengan adanya penambahan ataupun pengurangan syariat oleh generasi sesudahnya. Adapun menciptakan syariat-syariat gres yang belum pernah ada di zaman Rosululloh ‘alaihish sholaatu was salaam maka hal ini bukan tajdid akan tetapi bid’ah dan semua bid’ah yaitu kesesatan.
Gelar yang lain yaitu “Imam”. Gelar ini hanya pantas diberikan kepada orang yang pantas menyandangnya. Seperti seorang imam masjid, atau seorang teladan yang baik bagi kaum muslimin dari sisi aqidahnya, kedalaman ilmunya, kekuatan imannya, tawadhu’-nya (rendah hati) dan lain-lain. Gelar ini sering disalahgunakan oleh sebagian orang untuk menyanjung tokohnya, padahal tokohnya tersebut mempunyai banyak kesalahan dalam bidang aqidah dan bidang lainnya sehingga bukan merupakan teladan yang baik. Sejenis dengan gelar ini yaitu gelar ”Mufti” atau “Hakim”. Orang yang pantas diberikan gelar “Hakim” yaitu orang yang memutuskan permasalahan dengan landasan syariat Islam.
Setelah mengetahui permasalahan ini, maka bila sudah terlanjur nama atau gelar tersebut diberikan kepada seseorang, wajib bagi kita untuk mengganti nama atau gelar tersebut dengan gelar atau nama yang diperbolehkan oleh syariat. Allohu a’lam.
Penulis: Abu Ilyas Handanawirya
Sumber : Muslim.or.id

















Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel