Berpihak Ke Mana Pendidikan Di Indonesia?
Berpihak ke Mana Pendidikan di Indonesia? |
pendidikan bagi masyrakat sehingga tak heran setiap negara berlomba-lomba memajukan pendidikan untuk membangun bangsanya lebih maju dan berharkat serta berwibawa.
Paulo Fraire dalam bukunya “Pendidikan sebagai Proses” menyatakan pendidikan ialah sebuah proses yang dilakukan untuk mencapai perubahan, sehingga dengan pendidikan tersebut, seorang insan sanggup menemukan jati dirinya. Dalam konteks bangsa Indonesia, polemik wacana dilema pendidikan sudah berlangsung semenjak bertahun-tahun, berawal dari tahun 1997, ketika itu terjadi pergolakan politik yang mahir di negara ini, dengan ditandai jatuhnya rezim adikara Orde Baru Soeharto, oleh mahasiswa.
Dari awal itulah pendidikan bangsa ini semakin usang semakin terabaikan dan tertelantarkan. Anak putus sekolah semakin banyak dan pengangguran makin mebludak. Lantas apa yang jadi permasalah itu semua?. Tentunya, jikalau bicara kenapa, ada dua hal mendasari dilema tersebut yaitu pertama, biaya pendidikan semakin mahal, kedua, tidak ada jaminan sesudah sekolah akan mendapat pekerjaan yang layak.
Masalah itu muncul ketika negara ini tak kunjung usai keluar dari krisis moneter yang terjadi lebih 10 tahun ini. Akhirnya, ketika dilema itu terjadi masyarakatpun mulai akan berpikir, bagaimana saya sanggup menyekolahkan atau menguliahkan anak saya, padahal buat makan saja kurang? Tapi yang mengherankan pada ketika dilema mahalnya pendidikan itu muncul, justru pemerintah tak begitu perduli, bahkan secara sadar memberlakukan otonomi kampus, yang justru menjadikan biaya semakin mahal dan makin tak terjangkau.
Kita ketahui bersama Indonesia ialah negara berazaskan Pancasila yang menganut sistem pemerintahan demokrasi. Kalau kita telaah secara mendasar, demokrasi memiliki arti dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun, apa yang terjadi, masyarakat semakin tertindas dan semakin bodoh, akhir sistem pendidikan yang tak jelas. Merujuk pada tujuan bersama mendirikan bangsa ini, selayaknya penguasa harus lebih memperhatikan nasib pendidikan kaum menengah kebawah, tidak justru mematikan mereka dengan biaya pendidikan yang tak sanggup dijangkau oleh masyarakat yang miskin.
Kita perlu prihatin dan resah, bagaimana bisa, negara yang besar yang dikaruniani alam yang kaya, tapi masyarakatnya miskin dan taraf pendidikan yang rendah. Dan yang paling parah Perguruan Tinggi di Indonesia tidak ada yang masuk dalam peringkat 500 besar perguruan tinggi tinggi di dunia.
Indonesia terutama pemimpin yang akan datang, harus merenung beberapa saat, untuk berpikir bagaimana pendidikan bangsa ini sanggup maju dan sanggup bersaing dengan negara lain. Bukan hanya tahu mengobral komitmen “Pendidikan Gratis!”, tapi tak pernah mewujudkannya. Rakyat pun harus cerdas dalam menilai kebijakan pemerintah, jangan hanya menunggu uluran tangan dari klas penguasa sebab intinya mereka tak akan memperlihatkan “sentuhan kasihnya” dengan mudahnya tanpa ada proses pengawalan kerja dari rakyat yang telah menggantungkan sedikit asanya untuk hidup yang lebih baik.
Agaknya kita juga perlu agak gembira ketika Dewan Perwakila Rakyat Republik Indonesia megesahkan anggaran pendidikan dari APBN (Anggaran Perencanaan Belanja Negara) sebanyak 20%. Tapi juga kita harus bersedih, sebegitu banyaknya anggaran yang dialokasikan untuk pendidikan tidak sama sekali menyentuh rakyat miskin. Bahkan dengan bangganya, pemerintah menggusur dan merelokasi tempat-tempat pendidikan untuk dijadikan mal-mal, atau pusat-pusat bisnis yang lain. Serta tak kalah parahnya, pemerintah tidak lagi mensubsidi perguruan-perguruan tinggi negeri, yang berimbas pada naiknya uang kuliah. Pada kesannya kampus-kampus negeri yang dulu dianggap sebagai kampus rakyat, sudah berganti dengan kampus kawasan singgah orang-orang kaya dan memiliki uang.
Bisnis itulah yang terjadi dalam pendidikan bangsa ini, para pengelola pendidikan terutama perguruan tinggi tinggi dan pemerintah sudah tidak lagi memikirkan mutu dan biaya yang murah. Tapi dalam otaknya bagaimana sanggup laba dari penyelenggaraan pendidikan, serta mendapat kebanggaan dari masyarakat bahwa mereka berhasil membangun gedung yang manis dan mewah, tapi tak terjangkau oleh orang miskin. Image itu kini seperti muncul dalam permukaan masyarakat, sebab begitu inginnya masyarakat ini sanggup menguliahkan anaknya, tapi terbentur dengan biaya yang mereka rasa sangat-sangat tidak terjangkau.
Pendidikan yang memanusiakan dan memerdekakan, mungkin itulah yang harus dilakukan oleh penguasa negeri ini, jikalau dilihat dari kompleksnya permasalahan pendidikan kita. Dalam arti pendidikan harus terjangkau oleh masyarakt tingkat bawah baik dari segi biaya, kualitas, serta kawasan untuk pendidikan harus disama ratakan. Sehingga nantinya tidak ada dikotomi antara orang miskin yang bersekolah dengan orang kaya yang bersekolah. Kemerdekaan dalam berpikir dan memperoleh pendidikan itulah harus menjadi hak bagi masyarakat Indonesia. Sebab, dalam Undang-Undang Dasar (Undang Undang Dasar) telah diamanatkan bahwa masyarakat harus dijamin memperoleh pendidikan.
Lantas yang menjadi pertanyaan, bagaimana sanggup dalam Undang-Undang Dasar dasar Republik Indonesia sudah mengamanatkan nyata-nyata menyerupai itu, tetapi pemerintah tidak sanggup melakukan apa yang diamatkan oleh UUD, mengenai pendidikan terhadap masyarakat Indonesia?. Berarti pemerintah sudah melanggar Undang-Undang Dasar 1945 RI. Setidaknya pemerintah ingin membenahi mutu pendidikan harus lebih memerhatikan pendidikan rakyat miskin, tidak seenaknya sendiri menciptakan peraturan-peraturan, yang menyudutkan posisi masyarakat menengah kebawah untuk memperoleh pendidikan di negara ini.
Dan pada akhirnya, pendidikan di Indonesia ini milik orang yang punya duit atau juga milik masyarakat Indonesia yang miskin? Dengan impian pendidikan kita nantinya memihak pada kepentingan rakyat yang tertindas, serta memiliki manfaat bagi bangsa ini. Sehingga bangsa yang besar ini akan bangun lagi, seiring perkembangan zaman yang semakin maju dan berkembang.