Dzikr Dan ‘Ilmu Hudhuriy
Dzikr dan ‘Ilmu Hudhuriy |
Dalam setiap ‘ilmu ada tiga hal; subyek yang mengetahui (‘alim), obyek yang diketahui (‘ma’lumaat) dan tindak (baca pula; predikat) mengetahui. ‘Ilmu disebut hudhuriy jikalau subyek yang mengetahuinya identik dengan obyek yang diketahuinya. Pemikir identik dengan yang dipikirkan. Ittihade ‘aaqil wa ma’qul. Atau Al- Ittihad al-’aqil wa al-ma’qul. Keidentikan atau kesatuan antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui. Kaprikornus dalam ‘ilmu hudhuriy, subyek = obyek. Maka terkadang ‘ilmu hudhuriy disebut pula sebagai ‘ilmu swa-obyek.
Maka, sebab pada hakikatnya seluruh ‘ilmu yaitu ‘ilmu hudhuriy, bagaimana menjelaskan ke-swaobyek-an seluruh ‘ilmu? Jika hal - hal yang diketahui yaitu hal-hal yang mempunyai keberadaan mental saja ibarat konsep wacana titik, prinsip non-kontradiksi , dll, ini masih dapat dibayangkan, tapi jikalau yang diketahui yaitu obyek material, bagaimana mungkin obyek material identik dengan subyek mental insan yang terang merupakan hal yang immaterial? Mungkin lebih berat lagi ke-musykilan yang diajukan Mulla Hadi Sabzavary, " Bagaimana mungkin segala hal yang termasuk dalam 9 kategori jatuh hanya dalam 1 kategori saja, yaitu kualitas?"
Sebagian filsuf berusaha memecahkan persoalan ini dengan menyampaikan bahwa, intinya pengetahuan insan yaitu bayangan (image) dari realitas yang ada. Tapi teori ini gugur dengan melihat banyak pengetahuan yang tidak merupakan bayangan dari apa pun, ibarat prinsip non-kontradiksi, konsep titik, garis dan seluruh geometri. Seluruh prinsip pasti rasional terang bukan bayangan dari apa pun, bahkan seluruh hal yang inderawi akan kehilangan makna tanpa pra-eksistensi dari prinsip-prinsip ini.
Batas antara hal yang material dan immaterial ternyata fuzzy (tidak tegas). Karena bahan disadari keberadaanya sebab persepsi akan bahan tersebut. Sedang persepsi terang immaterial. Tidak mungkin bagi seseorang membedakan persepsi dalam mimpi yang immaterial dan persepsi dalam alam tak-mimpi yang material. Maka para wali menyampaikan "Arwahuna ajsaduna, wa ajsaduna arwahuna" (Ruh-ruh kami yaitu jasad-jasad kami, dan jasad-jasad kami yaitu ruh-ruh kami) Yang menciptakan beda antara hal material dan immaterial terang dan tegas ibarat kutub utara dan kutub selatan hanyalah operasi mental insan yang terlalu bersahabat dengan hal - hal yang kasat mata saja.
Dan, sebagai suatu quiditas yang mempunyai wujud, secara emanatif wujud mempunyai jalur intellegebles hingga me-wujud-kan quiditas tersebut. Secara emanatif, artinya berdasarkan teori emanasi atau al-ibda’, Dimitri qua dimitri bukan sesuatu apa pun. Tidak mempunyai wujud. Bukan sesuatu yang maujud. Dimitri menjadi sesuatu pada saat, wujud-nya yang kopulatif terhubung pada wujud an-sich melewati satu jalur emanasi tertentu. Semua jalur emanasi bersatu pada tahapan wujud an sich dan logika pertama. Dan wujud an sich,- yang tidak termasuk dalam kategori apa pun, dan ada pada segala tanpa satu persatuan-, mungkin menjadi subyek dan obyek seluruh ilmu. Apakah ini yang disebutkan oleh Plato sebagai Idea, yang harus diingat kembali oleh orang yang ‘belajar’? Atau ini yang disebutkan oleh Aristoteles dan Mulla Shadra sebagai potensi ilmu yang harus diaktualisasikan oleh orang yang belajar?
Maka apakah berdzikir ? Meng-ada-kan satu-satunya Subyek dan Obyek yang ada. Melewati jalur-jalur kontra-emanasi (baca pula; Nama-Nama) tertentu. Hingga hingga pada wujud an sich. Suatu keadaan yang disebutkan dalam sebuah kitab sebagai berikut; ‘Ilme khuda dar ‘ilme shuufii gum syawad. Ilmu Tuhan karam dalam ilmu sufi. Bagaimana orang kebanyakan dapat mengerti ?
Wallohu a’lam bis-showwab
Maka, sebab pada hakikatnya seluruh ‘ilmu yaitu ‘ilmu hudhuriy, bagaimana menjelaskan ke-swaobyek-an seluruh ‘ilmu? Jika hal - hal yang diketahui yaitu hal-hal yang mempunyai keberadaan mental saja ibarat konsep wacana titik, prinsip non-kontradiksi , dll, ini masih dapat dibayangkan, tapi jikalau yang diketahui yaitu obyek material, bagaimana mungkin obyek material identik dengan subyek mental insan yang terang merupakan hal yang immaterial? Mungkin lebih berat lagi ke-musykilan yang diajukan Mulla Hadi Sabzavary, " Bagaimana mungkin segala hal yang termasuk dalam 9 kategori jatuh hanya dalam 1 kategori saja, yaitu kualitas?"
Sebagian filsuf berusaha memecahkan persoalan ini dengan menyampaikan bahwa, intinya pengetahuan insan yaitu bayangan (image) dari realitas yang ada. Tapi teori ini gugur dengan melihat banyak pengetahuan yang tidak merupakan bayangan dari apa pun, ibarat prinsip non-kontradiksi, konsep titik, garis dan seluruh geometri. Seluruh prinsip pasti rasional terang bukan bayangan dari apa pun, bahkan seluruh hal yang inderawi akan kehilangan makna tanpa pra-eksistensi dari prinsip-prinsip ini.
Batas antara hal yang material dan immaterial ternyata fuzzy (tidak tegas). Karena bahan disadari keberadaanya sebab persepsi akan bahan tersebut. Sedang persepsi terang immaterial. Tidak mungkin bagi seseorang membedakan persepsi dalam mimpi yang immaterial dan persepsi dalam alam tak-mimpi yang material. Maka para wali menyampaikan "Arwahuna ajsaduna, wa ajsaduna arwahuna" (Ruh-ruh kami yaitu jasad-jasad kami, dan jasad-jasad kami yaitu ruh-ruh kami) Yang menciptakan beda antara hal material dan immaterial terang dan tegas ibarat kutub utara dan kutub selatan hanyalah operasi mental insan yang terlalu bersahabat dengan hal - hal yang kasat mata saja.
Dan, sebagai suatu quiditas yang mempunyai wujud, secara emanatif wujud mempunyai jalur intellegebles hingga me-wujud-kan quiditas tersebut. Secara emanatif, artinya berdasarkan teori emanasi atau al-ibda’, Dimitri qua dimitri bukan sesuatu apa pun. Tidak mempunyai wujud. Bukan sesuatu yang maujud. Dimitri menjadi sesuatu pada saat, wujud-nya yang kopulatif terhubung pada wujud an-sich melewati satu jalur emanasi tertentu. Semua jalur emanasi bersatu pada tahapan wujud an sich dan logika pertama. Dan wujud an sich,- yang tidak termasuk dalam kategori apa pun, dan ada pada segala tanpa satu persatuan-, mungkin menjadi subyek dan obyek seluruh ilmu. Apakah ini yang disebutkan oleh Plato sebagai Idea, yang harus diingat kembali oleh orang yang ‘belajar’? Atau ini yang disebutkan oleh Aristoteles dan Mulla Shadra sebagai potensi ilmu yang harus diaktualisasikan oleh orang yang belajar?
Maka apakah berdzikir ? Meng-ada-kan satu-satunya Subyek dan Obyek yang ada. Melewati jalur-jalur kontra-emanasi (baca pula; Nama-Nama) tertentu. Hingga hingga pada wujud an sich. Suatu keadaan yang disebutkan dalam sebuah kitab sebagai berikut; ‘Ilme khuda dar ‘ilme shuufii gum syawad. Ilmu Tuhan karam dalam ilmu sufi. Bagaimana orang kebanyakan dapat mengerti ?
Wallohu a’lam bis-showwab